A. HAK ULAYAT DAN HAK PERORANGAN
1.Hak Ulayat
Pengertian hak ulayat ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan, genus, slam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya sebuah desa untuk menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam wilayah hukumnya.
Adapun ciri-ciri hak ulayat adalah :
- Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas menggunakan tanah yang ada di wilayah persekutuan.
- Orang luar hanya boleh menggunakan tanah itu dengan ijin penguasa persekutuan.
- Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah persekutuan dengan batasan hanya untuk keperluan keluarganya.
- Persekutuan hukum bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
- Hak ulayat tidak dapat diperalihkan dengan cara apapun juga
- Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.
Hak ulayat ini berlaku ke dalam dan berlaku keluar. Berlaku ke dalam berarti semua warga persekutuan sebagai kesatuan melakukan hak ulayat dengan memetik hasil dari tanah serta tanaman dan binatang di atasnya. Dalam hal ini dilakukan pembatasan terhadap kebebasan usaha atau kebebasan gerak warga persekutuan sebagai perorangan untuk kepentingan persekutuan. Berlaku ke luar berarti bukan warga persekutuan tidak diperbolehkan turut menikmati hasil tanah nyang merupakan wilayah persekutuan kecuali telah membayar pancang (Jawa: mesi; Aceh: uang pemasukan).
Adapun obyek hak ulayat meliputi tanah/daratan, air/perairan seperti sungai, danau, pantai beserta perairannya, tumbuh-tumbuhan yang hidup liar dan binatang yang hidup liar.
2.Hubungan Hak Ulayat dan Hak Perorangan
Dalam hubungan hak ulayat dengan hak perorangan terdapat hubungan saling pengaruh mempengaruhi. Pada kaitan ini bersifat mengembang dan mengempis. Artinya semakin kuat hak perorangan akan semakin lemah hak ulayatnya, demikian sebaliknya jika semakin kuat hak ulayat maka akan semakin lemah hak perorangannya.
Kedudukan Hukum Adat, hak ulayat dalam Hukum Pertanahan Nasional adalah sebagai berikut:
- Hukum Adat sebagai dasar terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
- Hak ulayat diakui keberadaannya dalam UUPA, yaitu pada pasal 3 sepanjang hak ulayat itu masih ada.
- Warga persekutuan yang mempunyai ciri sebagaimana yang tercantum pada huruf a, hak ulayat ditingkatkan menjadi hak WNI.
- Tujuan ciri seperti huruf c, dipakai sebagai dasar penentuan pemilikan minimal atau maksimal tanah pertanian dalam UU Nomor: 56 Prp 1960
Pengertian Hak Perorangan
Hak perorangan adalah suatu hak yang diberikan kepada warga desa atau orang luar atas sebidang tanah yang ada di wilayah hak ulayat.
Jenis-jenis hak Perorangan
1) Hak milik, hak yasan (inlandbezitsrecht)
2) Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
3) Hak menikmati hasil (genotsrecht)
4) Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap atau mengolah (ontginningsrecht)
5) Hak keuntungan jabatan (ambtelijk profitrecht)
6) Hak wenang beli (naastingsrecht)
7). hak membuka lahan
- Cara Perolehan Hak Milik
1) Membuka tanah hutan atau tanah belukar
2) Mewaris tanah
3) Menerima tanah karena pembelian, penukaran atau hadiah
4) Daluwarsa (verjaring)
Dalam masalah melakukan Hak membuka tanah bagi masyarakat hukum Adat harus diperhatikan dua hal agar tanah yang dibuka itu tidak menimbulkan kegoncangan;
Pembukaan tanah harus menghormati:
1) Hak ulayat
2) Kepentingan warga desa yang lain
3) Aturan hukum Adat
Tata cara pembukaan tanah:
1) Memberitahukan kepada kepala persekutuan hukum
2) Memberi tanda-tanda batas
3) Mengadakan upacara adat
Dengan mengindahkan hal- hal sebagaimana yang ditentukan dalam tata cara tersebut, maka pembukaan tanah itu menjadi terang, kongkrit dan religious sesuai dengan asas publisitet dan religies yang merupakan sifat Hukum Adat.
VIII HUKUM TANAH
A. Pengaruh raja
Pada kenyataannya raja-raja juga mempunyai pengaruh dalam perkembangan Hukum Tanah, pengaruh tersebut dapat berupa dua kemungkinan; yaitu merusak pengaturan Hukum Tanah dan dapat juga memperkuat pengaturan Hukum Tanah.
B. Pengaruh Pemerintah Kolonial
Pengaruh pemerintahan kolonial dalam Hukum Tanah yang cukup penting adalah sebagai berikut:
- Pajak bumi atau landrent dari Raffles
- Cultuurstelsel dari Gubernur Jenderal Van den Bosch
- Agrarisch Wet, Agrarisch Besluit, Domein Verklaring
- Vervreemdingsverbod (S. 1875 No. 179)
C. Pengaturan Hak Perorangan Dalam UUPA
- 1 Hak-hak yang ada di dalam UUPA sebagaimana yang termuat dalam pasal 6-undang-undang ini.
- Cara perolehan hak perorangan khususnya hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan cara perolehan dalam Hukum Adat
- Fungsi sosial di dalam hak milik menurut UUPA dibandingkan dengan yang ada dalam Hukum Adat.
HUKUM PERKAWINAN ADAT
A. Pengertian Perkawinan
Menurut MM Djojodigoeno, perkawinan merupakan upacara saja, upacara itu merupakan inisiasi (pemasukan) dalam keadaan yang baru; yaitu keadaan orang-orang yang telah penuh perkembangan hidupnya sehingga menjadi orang yang penuh bernilai dalam masyarakat. Oleh karena mereka sebagai pemimpin dalam paguyuban yang disebut keluarga (somah) dan mengatur hal ikhwal hidup mereka berdua dan hidup anak-anaknya tanpa batasan apapun juga.
Hilman Hadikusuma, menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Selain itu, menurut Van Gennep perkawinan adalah suatu upacara rites de passage (upacara peralihan). Upacara peralihan tersebut melembagakan perubahan status diri mereka berdua, dari tadinya hidup terpisah tetapi setelah melalui upacara-upacara tertentu menjadi hidup bersama sebagai suami isteri. Adapun tiga tahapan menuju hidup bersama sebagai suami isteri menurut Gennep adalah rites de separation (upacara perpisahan pelepasan dari status semula), rites de marge (upacara perjalanan menuju ke status baru), dan rites d ‘aggregation (upacara penerimaan ke dalam status baru).
Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan perkawinan adalah ikatan lahir-batin anatara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
B.Asas-asas Perkawinan
Menurut Hukum Adat suatu perkawinan bukan semata-mata ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, tetapi juga bermakna suatu hubungan hukum yang menyangkut pra anggota kerabat dari pihak suami ataupun dari pihak isteri. Oleh karena itu, perkawinan tidak saja harus sah dilakukan menurut hukum agamanya dan atau kepercayaannya tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabatnya. Pengakuan anggota kerabat menjadi penting karena masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami isteri yang tidak diakui oleh adat.
Perkawinan, selain terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, dapat juga dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh Hukum Adat. Selain itu, menurut Hukum Adat perkawinan dapat pula dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Apabila terjadi perkawinan antara anak yang belum cukup umur dan orang yang sudah cukup umur, maka perkawinan itu harus mendapatkan izin dari orang tuanya atau kerabatnya.
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah asas perkawinan, alasan kawin lebih dari seorang isteri dan syarat-syarat poligami diatur pada pasal 3, 4 dan 5. Persyaratan yang diatur pada pasal 4 UU Perkawinan ini dikenal dengan persyaratan alternatif, sedangkan pasal 5-nya dikenal dengan persyaratan kumulatif dalam poligami.
C. Sistem Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat terdapat beberapa sistem perkawinan yang mendominasi aturan di masyarakat, yaitu :
- Endogami, dalam masyarakat yang mengatur perkawinannya dengan sistem ini, konsekuensinya seorang laki-laki diharuskan mencari calon isteri yang berasal dari lingkungan kerabatnya (keluarga, klan, atau suku sendiri).
- Exogami, menurut sistem perkawinan ini, seorang pria yang akan melangsungkan perkawinan diharuskan mencari calon isteri berasal di luar marga atau kerabatnya.
- Eleutherogami, dalam sistem perkawinan ini seorang laki-laki tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri di dalam atau di luar lingkungan kerabatnya.
D, Bentuk –bentuk Perkawinan
Pada umumnya menurut Hukum Adat walaupun orang sudah dewasa tetapi tidak berarti bebas untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan dari orang tua atau kerabatnya. Oleh karena itu, jika bertindak sendiri dalam melakukan perkawinan dapat berakibat orang yang bersangkutan menjadi tersingkir dari kerabatnya. Dalam masalah perkawinan, perlu persetujuan orangtua lebih penting dari pada persetujuan calon mempelai.
Dalam sistem hukum adat dikenal 3 bentuk perkawinan yaitu:
- Perkawinan dengan pembayaran jujur, Perkawinan dengan pembayaran jujur terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatannya patrilineal seperti di Batak, Lampung, bali, papua, Nusatenggra dan lain-lain. Pembayaran jujur berfungsi untuk memutus keanggotaan calon istri dengan kerabatnya dan memasukkan keanggotaan istri ke dalam kerabat suami.
- Perkawinan semenda, Perkawinan semenda terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatnnya matrilinela seperti di Minangkabau. Dalam perkawinan semenda calon pengantin laki-laki tidak membayar jujur kep[ada kerabat calon pengantin wanita, tetapi justru mendapatakan uang jemputan. Bentuk perkawinan Semenda yang asli adalah semenda bertandang yang dalam hal ini suami hanya datang pada waktu malam hari ke rumah istri sedan gkan pada siang hari akan keluar mencari nafkah. Dalam perkawinan semenda status keanggotaan suami tetap sebagai anggota kerabatnya dan tidak masuk ke dalam anggota kerabat istri.
- Perkawinan mentas/ mencar/ bebas, Perkawinan mentas terjadi pada masyarakat yang sistem kekerabatannya parental, seperti di Jawa dan Madura. Setelah melaksanakan perkawinan maka mempelai berdua membentuk rumah tangga baru.
HUKUM PEWARISAN ADAT
A. Pengertian Hukum Waris Adat
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
B. Perbandingan Sifat Hukum Waris
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
- Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
- Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
- Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
C. Asas Hukum waris
Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.
D. Sistem Hukum Waris
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
- Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
- Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
- Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.
HUKUM DELIK ADAT
A. Pengertian Hukum Delik Adat
Sebagaimana diketahui bahwa istilah hukum Pidana adalah terjemahan dari istilah Belanda “adat delicten recht” atau hukum pelanggaran adat. Adapun pengertian hukum delik Adat menurut Ter Haar menunjukkan adanya perbuatan sepihak yng oleh pihak lain dengan tegas atau secara diam-diam dinyatakan sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan. Menurut Van Vollenhoven, delik Adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan kesalahan yang kecil saja.
B. Sifat dan Sistem Hukum Delik Adat
Sifat Hukum Delik Adat dikatakan menyeluruh dan menyatukan, hal ini dikarenakan latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, yang satu dianggap bertautan atau dapat dipertautkan dengan yang lainnya. Hal demikian mengakibatkan yang satu tidak dapat dipisah-pisahkan dengan yang lain.
Di samping itu, Hukum Delik Adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana, dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Apabila terjadi pelanggaran, maka yang diperhatikan bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi juga dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya.
Tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan akibat peristiwa yang mengganggu keseimbangan tidak saja dapat ditindak terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan pertanggungjawabannya kepada keluarga atau kerabat pelaku atau masyarakat adatnya. Sedangkan lapangan berlakunya hukum delik Adat terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu, tidak menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, kekuatan berlakunya sangat tergantung pada tempat, waktu dan keadaan dimana delik itu terjadi.
Adapun sistem hukum delik Adat dijiwai Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat magis religius, yang diutamakan bukanlah keadilan perorangan tetapi rasa keadilan kekeluargaan. Dalam mempertimbangkan masalah bukan keputusan yang penting, tetapi penyelesaian yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan.
Sistem pelanggaran yang dianut dalam hukum delik Adat adalah terbuka, tidak tertutup seperti hukum Pidana barat yang terikat pada ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUH Pidana. Dalam hukum delik Adat untuk melihat perbuatan salah, tidak dilihat apakah perbuatan itu karena dolus atau culpa tetapi dilihat akibatnya. Apakah akibat suatu perbuatan itu diperlukan koreksi dan reaksi yang berat atau ringan, apakah cukup dibebankan pelaku saja atau keluarga, kerabat dan masyarakat adatnya. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang dianut oleh hukum Pidana barat, bahwa perbuatan salah itu dititik beratkan pada perbuatan karena dolus atau culpa saja. Jika dikarenakan culpa akibatnya hukumannya akan menjadi lebih ringan dari pada perbuatan itu dikarenakan dolus.
Pertanggungjawaban terhadap kesalahan menurut hukum delik Adat tidak membedakan pelaku itu waras atau gila, yang dilihat akibatnya. Oleh karena itu, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian atau penyelesaian sebagai akibat perbuatan orang gila kepada pihak keluarga/ kerabatnya. Berbeda dengan prinsip pertanggungjawaban hukum Pidana barat, jika pelaku tidak waras/ gila tidak dapat dihukum dan tidak dapat menuntut kepada pihak keluarganya.
Menurut hukum delik Adat perorangan, keluarga, kerabat yang menderita kerugian sebagai akibat kesalahan seseorang, dapat bertindak sendiri menyelesaikan dan menentukan hukuman ganti kerugian dan lain-lain terhadap pihak pelaku yang telah berbuat salah, tanpa menunggu kerapatan atau keputusan petugas hukum Adat. Di samping itu, hukum delik Adat tidak mengenal perbuatan yang bersifat “membantu berbuat” atau “membujuk berbuat” atau “ikut berbuat” sehingga perbuatan itu merupakan rangkaian yang menyeluruh.
C. Delik-delik Tertentu
Dalam hukum delik Adat beberapa jenis delik dapat digolongkan menjadi delik yang berat dan segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang mengganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib.
Selain itu, delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat adalah seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, inses, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan sebagainya.
D. Peradilan Adat
Peradilan adat adalah acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, menyelesaikan suatu perkara, meliputi pemeriksaan perkara, yang berhak memeriksa, saksi-saksi dan sumpah. Istilah peradilan (rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaraan tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara di muka pengadilan dan atau di luar pengadilan.
Dalam proses peradilan adat dapat dilakukan oleh anggota masyarakat secara perorangan, keluarga, tetangga, kepala kerabat/ adat, kepala desa atau oleh pengurus perkumpulan organisasi. Penyelesaian konflik ini diupayakan secara damai untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu. Pemulihan keseimbangan yang terganggu ini diutamakan dengan jalan kerukunan, keselarasan dan keharmonisan antara para pihak yang bersengketa.
0 comments
Posting Komentar