Pengantar Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan

Posted by Law for the better future | 20.31 | | 2 comments »


1.          Pengertian Hukum Keluarga dan  Harta Kekayaan
 Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Tuhan menciptakan manusia berjenis kelamin pria dan wanita dan sesuai dengan kodrat mereka maka mereka akan hidup saling berpasang-pasangan. Hidup berpasang-pasangan tersebut akan diikat dengan suatu tali perkawinan diantara mereka dan kemudian dalam hubungan tersebut dapat melahirkan anak yang mengakibatkan  adanya hubungan antara anak dengan orang tuanya.Dalam hubungan yang demikian ini maka lahirlah Hukum Keluarga.
            Manusia sebagai mahluk social dalam hidup selalu saling berinteraksi satu sama lain untuk memenuhi kepentingan/kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya tersebut manusia mengadakan hubungan hukum dalam bentuk perjanjian-perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Dalam hidup yang demikian itulah maka akan melahirkan Hukum  Orang dan Hukum Keluarga; Hukum Benda dan Hukum Perikatan yang tergabung dalam Hukum Harta Kekayaan.
            Sesuai dengan kodratnya di dunia ini tidak ada yang abadi, begitu juga manusi sebagai mahluk ciptaan Tuhan pada saatnya mereka akan meninggal dunia yang otomatis akan meninggalkan semua yang dimilikinya baik anak keturunan dan harta bendanya. Untuk mengatur harta benda yang ditinggalkan  dan mengatur siapa saja yang berhak menerimanya, maka lahirlah Hukum Waris.
            Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian Hukum Keluarga dan Hukum Harta Kekayaan adalah hukum yang mengatur hubungan mengenai perorangan, baik dalam hubungan keluarga dan dalam masyarakat.

  
2.         Luas Lapangan Hukum Keluarga dan  Harta Kekayaan
            Dalam Hukum Keluarga dan  Harta Kekayaan ada empat materi hukum yang dibicarakan, yaitu Hukum Perjanjian, Hukum Jaminan, Hukum Perkawinan beserta akibat-akibatnya dan Hukum Waris.
            Hukum Perjanjian akan membahas beberapa perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru). Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang sudah dikenal dengan nama-nama tertentu serta telah diatur secara khusus di dalam undang-undang, sedangkan perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru) adalah perjanjian-perjanjian yang belum diatur secara khusus di dalam undang-undang dan timbulnya karena kebutuhan di dalam masyarakat. Perjanjian tidak bernama jumlahnya lebih banyak dari pada perjanjian bernama.
            Perjanjian Jaminan adalah perjanjian yang bersifat accesoir (tambahan), artinya jaminan timbul setelah adanya perjanjian pokok. Berdasarkan sifatnya jaminan dibedakan menjadi dua, yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan. Jaminan Kebendaan masih dapat dibedakan lagi menjadi Jaminan Kebendaan Umum dan Jaminan Kebendaan Khusus. Ada beberapa macam jaminan kebendaan khusus, yaitu gadai, fiducia, hipotik atas kapal dan hak tanggungan. Sedangkan Jaminan Perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya. Termasuk jaminan perorangan adalah borgtocht.
            Perkawinan yang sah dan mempunyai akibat hukum adalah perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku. Secara garis besar akibat hukum dari perkawinan dapat terjadi pada suami-isteri, anak-anak yang dilahirkan dan harta perkawinan.
            Selanjutnya dalam Hukum Waris akan dibicarakan hukum waris karena undang-undang (ab intestato), yang terdiri dari ahli waris golongan I, II, III dan IV dan hal-hal yang berkenaan dengan pewarisan.
  

B.        Hukum Perjanjian

1.         Perjanjian Jual Beli
Perjajian jual beli diatur dalam bab V buku III Pasal 1457-1540 KUHperdata. Pengertian perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dari pengertian perjanjian jual beli tersebut, maka ada beberapa hal pokok dalam perjanjian jual beli :
1.            Ada dua pihak Pihak penjual yaitu pihak yang berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang
2.            Pihak pembeli yaitu pihak yang berjanjian untuk membayar harga suatu barang.
3.            Adanya unsur essensialia dari perjanjian jual beli yaitu barang dan harga.
4.            Perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik, artinya kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban yang saling berhadap-hadapan (bertimbal balik).
Selanjutnya disamping hal-hal pokok tersebut dapat dikemukakan sifat-sifat perjanjian jual beli, yaitu:
1.            Bersifat Konsensuil (Pasal 1458 KUHPerdata). Artinya perjanjian jual beli telah terjadi dengan adanya kata sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga meskipun barang belum diserahkan.
2.            Bersifat Obligatoir. Artinya perjanjian jual beli hanya menimbulkan hak dan kewajiban. Perjanjian jual beli tidak mengakibatkan perpindahan hak milik. Hak milik atas suatu benda baru berpindah apabila sudah ada penyerahan (levering). Penyerahan (Levering) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak milik. Untuk sahnya levering harus dipenuhi dua syarat:
·              Sahnya title (alas title) yang menjadi dasar dilakukannya levering
·              Levering dilakukan oleh dua orang yang berhak berbuat bebas terhadap barang yang dilever.
Berkaitan dengan levering, di dalam KUHPerdata dikenal cara levering berdasarkan macam barang, yaitu:
Barang bergerak
Diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Artinya untuk barang bergerak penyerahannya dari tangan ketangan, akan tetapi dimungkinkan juga penyerahan secara simbolis atau dengan suatu pernyataan saja (traditio brevi manu).
Barang tetap
Diatur dalam Pasal 616 jo 620 KUHPerdata, dimana penyerahan barang dengan balik nama.
Barang tak bertubuh (piutang) ada tiga cara:
a.      Piutang atas bawa (aan order) dengan penyerahan nyata
b.      Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan endosemen
c.      Piutang atas nama dengan cessie.

Disebutkan bahwa perjanjian jual beli bersifat konsensual obligatoir, artinya perjanjian jual beli lahir /terbentuk begitu ada sepakat diantara para pihak tentang pokok-pokok perjanjian dan hanya menimbulkan hak dan kewajiban diantara penjual dan pembeli tersebut.
Kewajiban Penjual antara lain:
1.      Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
2.      Menanggung (vrijwaren), dari:
a.                Gangguan pihak ketiga dalam hal sipembeli menikmati bendanya (perbuatan melawan hukum)
b.                  Gangguan dari pihak ke tiga yang menyatakan benda tersebut miliknya (wit winning)
c.                   Adanya pembebanan pada barang yang dijual
3.            Menanggung cacad tersembunyi, apabila barang tersebut dapat digunakan  sebagai mana mestinya atau mengurangi kenikmatan dalam menggunakan barang tersebut. Apabila dalam perjanjian jual beli terdapat cacat tersembunyi, maka pembeli dapat menuntut penjual:
a.         pengembalian harga pembelian (action redhibitoria)
b.         pengurangan harga pembelian (action quanti minoris)

Hak Penjual dalam perjanjian jual beli;
1.         menerima harga pembelian
2.         hak reklame (Pasal 1145 KUHPerdata)
yaitu hak penjual untuk menuntut kembali barangnya dari pembeli kalau pembeli melakukan wanprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya).
Syarat-syarat hak reklame menurut KUHPerdata:
a.      jual beli harus tunai/kontan.
b.      barangnya masih ada ditangan pembeli.
c.      jangka waktunya 30 hari dihitung sejak perjanjian jual beli terjadi.
Syarat-syarat hak reklame menurut KUHD:
a.        jual beli bisa kredit atau tunai
b.        barangnya bisa ditangan pembeli atau ditangan pihak ketiga
c.        jangka waktunya 60 hari.
3.         Hak untuk membeli kembali barangnya (Pasal 1519 KUHPerdata)

2.         Kewajiban Pembeli
a.                   membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1513-1514 KUHperdata).
b.                  Menanggung biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan perjanjian jual beli, kecuali diperjanjikan sebaliknya.
Dalam perjanjian jual beli dapat terjadi gugatan yang diajukan oleh salah satu pihak. Ada tiga macam dasar yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan, yaitu:
a.                   gugatan berdasarkan wanprestasi, dapat diajukan dalam jangka waktu 30 hari.
b.                  gugatan berdasarkan kesesatan/paksaan/penipuan dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun.
c.                   gugatan berdasarkan adanya cacat tersembunyi dapat diajukan dalam jangka waktu pendek, tergantung dari sifat cacat dan kebiasaan setempat.
            Selanjutnya menurut Pasal 1471 KUHPerdata apabila terjadi jual beli benda milik orang lain, maka perjanjian jual beli tersebut batal dan dapat digunakan sebagai dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Berkaitan dengan risiko, artinya siapa yang menanggung kerugian dalam hal terjadi overmacht / force majeur (keadaan memaksa). Ada tiga ketentuan yang mengatur mengenai risiko dalam perjanjian jual beli yaitu:
1.            Untuk barang tertentu diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa untuk barang yang sudah tertentu risiko ada pada pembeli begitu barang dibelinya, meskipun belum dilakukan levering. Ketentuan semacam ini adalah pengaruh dari system hukum perdata perancis. Namun ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut oleh MA dengan SEMA No.3 Tahun 1963  dianggap tidak berlaku karena dirasa tidak adil dalam pelaksanaannya.
2.            Untuk barang yang dijual menurut berat, jumlah/ukuran berlaku ketentuan Pasal 1461 KUHPerdata , dimana risiko baru beralih kepada pembeli apabila barang sudah ditimbang, dihitung atau diukur (diindividualisir).
3.            Untuk barang yang dijual menurut tumpukan berlaku ketentuan Pasal 1462, dimana risiko ada pada pembeli meskipun barang belum diserahkan.

2.         Perjanjian Sewa menyewa
            Pengertian perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga (Pasal 1548 KUHPerdata). Dalam perjanjian sewa menyewa yang diserahkan adalah kenikmatan suatu barang yang meliputi pemakaian dan pemungutan hasil atas barang tersebut. Dari pengertian perjanjian sewa menyewa tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur dalam perjanjian sewa menyewa, yaitu:
1.      unsur benda
2.      unsur waktu
3.      unsur harga
Perjanjian sewa menyewa  bersifat persoonlijk, artinya perjanjian sewa menyewa hanya berlaku bagi orang tertentu saja, maksudnya perjanjian ini hanya berlaku bagi pihak penyewa dan yang menyewakan saja.  Selain itu bersifat hak kebendaan, artinya hak sewa mengikuti bendanya (droit de suit atau zaakgevolg). Hal itu tersimpul dari ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata yang menyetakan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Berlakulah asas koop breeks geen huur, artinya jual beli tidak menghentikan sewa menyewa.
Kewajiban pokok pihak yang menyewakan adalah:
1.            menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
2.            memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang tersebut dapat dipakai si penyewa.
3.            memberikan kenikmatan yang tentram selama  masa sewa, artinya pihak yang menyewakan wajib menangkis tuntutan-tuntutan hukum daari pihak ke tiga.
Sebaliknya kewajiban penyewa  adalah:
1.            menggunakan barang yang disewa sebagai bapak rumah tangga yang baik (als  
   een goedvader)
2.            membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
3.            mengembalikan barang yang disewanya dalam keadaan baik
4.            bertanggung jawab terhadap segala kerusakan yang timbul, kecuali diluar kesalahannya.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 1561 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika penyewa menggunakan barang yang disewanya tidak sesuai dengan tujuan pemakaiannya atau menyebabkan kerugian pada pihak yang menyewakan, maka pihak yang menyewakan dapat minta pembatalan sewanya.
Risiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata yang menyebutkan jika selama perjanjian sewa menyewa barang yang disewakan musnah karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa jika terjadi keadaan memaksa (overmacht) maka risiko ada pada pihak yang menyewa.
Dalam hal berakhirnya perjanjian sewa menyewa, ada dua cara untuk mengetahui berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut, yaitu:
1.      perjanjian sewa menyewa berakhir demi hukum, yaitu lampaunya waktu yang telah 
ditentukan.
2.      perjanjian sewa menyewa berakhir setelah dihentikan dengan memperhatikan
tenggang waktu menurut kebiasaan.
3.    Perjanjian Pemberian Kuasa. Pemberian kuasa (lastgeving) adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pihak-pihak dalam perjanjian pemberian kuasa adalah pemberi kuasa dan penerima kuasa/juru kuasa. Adapun yang dapat dikuasakan adalah penyelenggaraan suatu urusan (suatu perbuatan hukum). Artinya tidak setiap perbuatan hukum dapat dikuasakan kepada orang lain. Hal yang berkaitan erat dengan pribadi seseorang tidak dapat dikuasakan. Penerima kuasa melakukan suatu perbuatan hukum batas nama atau mewakili orang yang memberi kuasa.
Bentuk perjanjian pemberian kuasa adalah bebas (Pasal 1793 KUHPerdata), karena perjanjian pemberian kuasa merupakan perjanjian konsensuil. Jadi bentuk perjanjiannya bisa lisan atau tertulis.
Ada beberapa macam pemberian kuasa menurut Pasal 1795 KUHPerdata, yang meliputi:
1.                  Kuasa Umum, hanya memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan (beheeren).
2.                  Kuasa Khusus, memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang harus disebutkan secara tegas, misalnya ketentuan Pasal 123 HIR yang menyatakan surat kuasa untuk beracara dimuka pengadilan disyaratkan suatu kuasa khusus tertulis.
Kewajiban si kuasa ada tiga, yaitu:
1.                  menyelesaikan urusan yang telah dimulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan menanggung segala biaya, kerugian, bunga yang sekirannya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut (Pasal 1800 KUHPerdata)
2.                  membuat laporan tentang apa yang telah diperbuatnya (Pasal 1802 KUHPerdata)
3.                  bertanggung jawab jika ia menggunakan hak substitusi (hak untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya) (Pasal 1803 KUHPerdata).
Sedangkan kewajiban pemberi kuasa ada empat, yaitu:
1.                  memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh si kuasa (Pasal 1807 KUHPerdata).
2.               mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh si kuasa untuk melaksanakan kuaasnya (Pasal 1808 KUHPerdata).
3.               memberikan ganti rugi yang diderita si kuasa sewaktu manjalankan kuasanya (Pasal 1809 KUHPerdata).
4.               membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh si kuasa (Pasal 1810 KUHPerdata).
Di dalam perjanjian kuasa juga dikenal suatu hak yang disebut hak retensi, yaitu hak untuk menahan barang milik pemberi kuasa, sampai pemberi kuasa memenuhi segala kewajibannya  terhadap si kuasa.
Berakhirnya perjanjian pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata. Ada tiga cara untuk berakhirnya perjanjian pemberian kuasa, yaitu;
1.            dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa.
2.            dengan pemberitahuan penghentian kuasa oleh si kuaas..
3.            dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun si si kuasa.

4. Perjanjian Pemborongan
            Perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata Pasal 1601 b disebut dengan istilah Pemborongan Pekerjaan, yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lainnya, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Perjanjian pemborongan di atur dalam Buku III Bab 7A Pasal 1601 b, Pasal 1604- Pasal 1616 KUHPerdata. Perjanjian Pemborongan merupakan salah satu macam perjanjian dari perjanjian melakukan pekerjaan.
Pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan ada dua, pihak pertama disebut sebagai pihak yang memborongkan/prinsipal/bouwheer/aan bestender/pemberi tugas, sedangkan pihak ke-dua disebut pemborong/kontraktor/rekanan/annemer/pelaksana. Adapun obyek pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk).
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHperdata juga diatur dalam Keppres No.16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBN jo. Keppres No.24 Tahun 1995 perubahan atas Keppres No.16 Tahun 1994, serta AV 1941 (Algemene voorwaarden voorde uitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia, artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia). AV terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1.      Bagian ke-1 memuat syarat-syarat administrasi
2.      Bagian ke-2 memuat syarat-syarat bahan
3.      Bagian ke-3 memuat syarat-syarat teknis
 Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil dan bentuknya bebas (vormvrij) artinya dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Namun demikian perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk standar. 
Adapun macam dan isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata dikenal ada dua macam perjanjian pemborongan:
1.            Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja.
2.            Perjanjian Pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan bahan-bahan/materialnya.

            Isi dari perjanjian pemborongan tidak ditentukan dalam KUHPerdata, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) ), sedangkan di dalam Keppres No.16 Tahun 1994 isi perjanjian pemborongan ditentukan sebagai berikut:
1.            Akta dibawah tangan, isinya terserah pada pihak yang memborongkan (tidak diatur dalam Keppres No.16 Tahun 1994).
2.            Surat Perintah Kerja (SPK) isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Keppres No.16 Tahun 1994.
3.            Surat perjanjian pemborongan kontrak, isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) Keppres No.16 Tahun 1994.
Perjanjian pemborongan berakhir apabila:
1.            Pekerjaan tidak diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan selesai atau dengan akta lain pada penyerahan kedua dan harga borongan telah dibayar oleh pihak yang memborongkan.
2.            Pembatalan perjanjian pemborongan (Pasal 1611 KUHPerdat).
3.            Kematian pemborong (Pasal 1612 KUHPerdata)
4.            Kepailitan.
5.            Pemutusan perjanjian pemborongan.

Disamping perjanjian bernama, di dalam KUHPerdata juga dikenal perjanjian-perjanjian yang tidak bernama. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu. Artinya, KUHPerdata berlaku bagi semua bentuk perjanjian dengan kata lain baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama tunduk pada ketentuan umum, yaitu Bab I - IV Buku III KUHPerdata. Ada dua macam perjanjian tidak bernama:
1.            Perjanjian Campuran, yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanian bernama. Misalnya : Perjanjian Beli-Sewa.
2.            Perjanjian Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat berbagai unsure perjanjian bernama yang bercampur menjadi satu sehingga tidak dapat dipilah-pilah dan sifat yang demikian memberi karakter yang khusus dalam perjanjian tersebut. Misalnya: Perjanjian Beli Sewa, Perjanjian Leasing, Perjanjian Kredit Sindikasi.

1. Perjanjian Beli-Sewa
            Perjanjian beli sewa adalah suatu perjanjian jual beli dimana pada saat perjanjian diadakan hak milik barang belum beralih. Hak milik baru akan beralih setelah sewa terakhir dibayar. Jadi tujuan akhir dari perjanjian beli sewa adalah peralihan hak milik, selama pembayaran belum lunas, maka status barang adalah barang sewa dan pembeli masih berstatus sebagai penyewa karena barang masih milik penjual. Hak Milik berpindah tangan apabila angsuran lunas. Jika angsuran tidak selesai maka barang dapat diambil kembali oleh si penjual dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa.

2. Perjanjian Leasing
            Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari pengertian tersebut diketahui ada beberapa unsur perjanjian leasing, yaitu:
1.            Pihak Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia memberikan hak pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang disepakati bersama.
2.            Pihak Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik orang lain untuk jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah disepakati bersama.
3.            Ada benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.
4.            Ada suatu jangka waktu tertentu.
5.            Ada sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah disepakati bersama.
            Selanjutnya setelah unsur-unsur dari perjanjian leasing diketahui, maka dapat ditinjau ciri-ciri dasar suatu leasing, yaitu:
1.            Benda yang menjadi obyek leasing adalah alat produksi atau barang modal dalam lalu lintas ekonomi yang mewakili nilai tertentu.
2.            Para pihak yang terikat dalam perjanjian leasing badan usaha dan/atau perorangan yang melakukan usaha.
3.            Jangka waktu leasing selalu berkaitan dengan umur ekonomis obyek leasing.
4.            Ada pemisahan antara hak milik yang tetap ada pada lessor dan hak pakai ada pada lessee.
            Dalam perjanjian leasing dikenal beberapa jenis leasing yang dibedakan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, yaitu:
1.      berdasarkan risiko ekonomis, ada dua jenis leasing;
a.            Financial Leasing
b.            Operational Leasing
2.      berdasarkan pembagian Obyek Leasing, ada dua jenis leasing:
a.            leasing benda tetap
b.            Leasing benda bergerak

            Perjanjian leasing merupakan perjanjian timbal balik, karena menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, meskipun ketentuan dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah satu pihak yaitu lessor dalam suatu formulir yang siap ditanda tangani oleh lessee, oleh karenanya perjanjian leasing juga merupakan perjanjian standar.
            Obyek perjanjian leasing adalah barang modal dan harga leasing. Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang berwujud termasuk tanah sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant) dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar produksi barang atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu RI No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) ).
            Berakhirnya perjanjian leasing dapat terjadi secara normal dan tidak normal. Perjanjian leasing berakhir secara normal jika kewajiban-kewajiban semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut perjanjian leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran uang sewa terakhir ditambah biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu perjanjian leasing berakhir secara tidak normal apabila jangka waktu berlakunya perjanjian leasing belum berakhir, tetapi kewajiban salah astu pihak terhenti karena adanya suatu peristiwa tertentu. Perjanjian leasing berakhir secara tidak normal baik karena consensus, wanprestasi maupun overmacht.

3. Perjanjian Kredit Sindikasi
            Pengertian Perjanjian Kredit Sindikasi menurut Stanley Hurn seperti dikutip oleh Remy Sjahdeini adalah suatu pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih lembaga keuangan, berdasarkan syarat-syarat yang sama bagi masing-masing peserta sindikasi, menggunakan dokumen kredit tunggal dan diadministrasikan oleh satu agen yang sama untuk semua peserta sindikasi tujuannya untuk membiayai suatu obyek fasilitas kredit milik debitur dan dalam jangka waktu yang disepakati oleh para pihak.
            Ada dua cara terbentuknya kredit sindikasi, yang pertama atas permintaan nasabah  dan yang kedua atas inisiatif bank yang memandang perlu untuk membiayai suatu proyek milik nasabah dalam bentuk sindikasi.
            Ada beberapa tahap pembentukan kredit sindikasi, yaitu (1) penawaran (offer) bisa dari bank atau dari pihak debitur yang memerlukan dana, (2) pembentukan arrangers yang terdiri dari bank-bank yang akan menjadi bagian dari kredit sindikasi yang tidak harus menjadi peserta sindikasi, (3) Pembentukan lead manager dan managing group, (4) Penyampaian penawaran (offer) dan Penerimaan Mandat, (5) Penyiapan information memorandum dan Perjanjian Kredit, (6) Penunjukan Agen Bank yang dilakukan sebelum perjanjian kredit sindikasi ditanda tangani, (7) Upacara penandatanganan perjanjian kredit sindikasi yang disebut loan signing ceremony, (8) Perlaksanaan publisitas yang tujuannya untuk transparansi agar masyarakat dapat mengukur tingkat risiko dari debitur.
Perjanjian kredit sindikasi adalah perjanjian pokok dimana sebagai perjanjian pokok selalu diikuti dengan perjanjian-perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Pembagian Hasil Jaminan (Security Sharing Agreement) dan Perjanjian Pengikatan jaminan.
Berakhirnya perjanjian kredit sindikasi terjadi apabila debitur telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya yaitu melakukan pembayaran, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lain yang timbul akibat perjanjian tersebut.

2 comments

  1. Unknown // 21 Desember 2014 pukul 19.20  

    Jika yang terjadi harta di atas namakan adik kandung lalu adik kandung menyalah gunakan harta tersebut apakah bisa harta di minta balik nama dengan jalur hukum apabila adik tidak menyetujui pengembalikan harta tersebut?

  2. Unknown // 21 Desember 2014 pukul 19.32  

    Seorang kakak yang bekerja banting tulang semua di serahkan keluarga bahkan semua aset harta yang di cari puluhan tahun di atas namakan adik kandungnya tanpa rasa kuatir percaya dan percaya tapi adik tersebut menyalahgunakan kepercayaan dari kakanya Harta dan aset tersebut buat kepentingan pribadi dan tidak jelas harta tersebut buat apa saja setelah di tanya mengakui menikmati harta tersebut karena semua aset harta atas nama adik tersebut setelah kakak minta mengembalikan aset dan harta tersebut adik kandungnya tidak mau mengembalikan aset dan harta tersebut .. Apakah sikakak bisa mengambil aset dan harta yang selama ini bekerja banting tulang dengan cara hukum dan apakah ada pasalnya .. ? Tq