Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum, artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi, hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum). Ada tiga ciri penting dari negara hukum sehingga suatu negara dapat dikategorikan dalam negara yang berdasarkan hukum yaitu:
- Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman (Independent of the Judiciary)
- Kemandirian Profesi Hukum (Independent of the Legal Profession)
- Kemerdekaan Pers (Press Freedom).
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep “rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental abad XIX dan konsep “rule of law” yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon (negara common law). Pada Negara Common law, tujuan utama dari Negara adalah untuk melindungi hak-hak dasar dari para warganya. Dengan demikian fokus utama Negara adalah memberikan perlindungan kepada warganya karena paham individualistik yang mereka anut. Negara baru dapat bertindak bila para individu telah memberikan hak untuk itu. Sebagai akibat lebih lanjut dari bentuk perlindungan ini, maka lahir yang disebut dengan Habeas Corpus Act (Asas Legalitas dari suatu tindakan Negara). Jadi ada supremasi hukum (rule of law) dalam Negara tersebut yang berlaku sama bagi setiap orang (equality before the law); semua orang dianggap sama dalam hukum karena mereka semua (para individu) yang memberikan hak tersebut kepada Negara. Pemberian hak-hak kepada Negara dilakukan oleh para individu tanpa melihat status, suku, atau pun kedudukan mereka.
Di sisi lain, Negara kontinental yang juga berpaham individualistik, ditambah lagi dengan berpedoman pada Negara Polisi dari Hans Nawiasky, (“Bahwa Negara mempunyai dua fungsi besar, yaitu sebagai penjaga tata tertib dan keamanan dan sebagai penyelenggara perekonomian atau menyelenggarakan semua kebutuhan hidup warga Negara”), Negara Hukum Eropa Kontinental ini dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan Negara hukum menurut Kant adalah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu dalam masyarakat. Konsep Negara hukum ini dikenal dengan Negara hukum liberal atau Negara hukum dalam arti sempit atau “nachtwakerstaat”. Dikatakan Negara hukum liberal, karena Kant dipegaruhi oleh faham liberal yang menentang kekuasaan absolute raja pada waktu itu. Dikatakan Negara hukum dalam arti sempit, karena pemerintah hanya bertugas dan mempertahankan hukum dengan maksud menjamin serta melinungi kaum “Boujuis” (tuan tanah) artinya hanya ditujukan pada kelompok tertentu saja. Dikatakan Nechtwakerstaat ( Negara penjaga malam ), karena Negara hanya berfungsi menjamin dan menjaga keamana dalam arti sempit (kaum Borjuis).
Menurut Kant, untuk dapat disebut sebagai Negara hukum harus memiliki dua unsur pokok, yaitu :
- adanya perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia
- adanya pemisahan kekuasaan
Koreksi terhadap konsep usulan Kant kemudian diusulkan konsep lain oleh Friedrich Julius Stahl . Stahl mengusulkan konsep negara hukum formal. Usulan itu, yang pada intinya mengatakan bahwa negara hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah dan kekuasaan negara dengan/melalui undang-undang. Akan tetapi, berdasarkan konsep itu tetap saja melahirkan dampak negatif, sebab negara sangat dibatasi ruang geraknya oleh undang-undang yang disetujui oleh rakyat. Jadi Negara tidak dapat melakukan sesuatu/tindakan tanpa terlebih dahulu ditentukan dalam undang-undang. Konsep ini-lah yang dinamakan konsep negara hukum formal karena semua harus diatur dalam suatu undang-undang terlebih dahulu (wetmatigheid van het bestuur (negara berdasarkan hukum); selanjutnya menjadi rechtmatigheid van het bestuur (pemerintah berdasarkan hukum): partner rakyat untuk menciptakan kemakmuran)1; dan akhirnya menjadi doelmatigheid van het bestuur (sepanjang tindakan pemerintah dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan umum)). Dampak negatif, ini coba diminimalisir dengan diberikannya discretionary power (wewenang untuk mengambil tindakan sesuai dengan kebijakan penguasanya, akan tetapi kebijakan tersebut betul-betul ditujukan untuk kepentingan umum dan pengaturan itu belum ada aturannya) pada pemerintah, sehingga penguasa (negara) dapat melakukan tindakan yang cepat bila terjadi sesuatu yang mendesak dan tindakan tersebut tetap untuk menyejahterakan masyarakat. Legitimacy suatu discretionary power tidak hanya didasarkan pada unsur kepentingan umum saja, tetapi juga harus didasarkan pada asas kepatutan, kebenaran, dan keadilan. Oleh sebab itu, walaupun suatu tindakan sudah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi tidak sesuai dengan asas kepatutan, kebenaran dan keadilan, maka discretionary power tersebut dapat dimintakan pembatalan ke pengadilan yang mempunyai jurisdiksi absolute terhadap kasus itu, yaitu Pengadilan Administrasi (PTUN di Indonesia). Berdasarkan konsep-konsep inilah di negara-negara continental law tradition (karena semua tindakan pemerintah harus berdasar pada undang-undang), maka lahirlah konsep RECHTSTAAT.
Kedua konsep Negara hukum itu, dari paham individualistik dan golongan, kemudian digabungkan untuk meminimalisir dampak negatif dari masing-masing konsep negara hukum tsb. Konsep gabungan ini yang kemudian dilakukan oleh penganut paham integralistik. Semua unsur negara hukum yang berasal dari paham individualistik dan golongan terdapat didalamnya. Yang membedakannya hanyalah tujuan utamanya, yaitu kepentingan umum dengan tetap menghargai kepentingan/hak invidu. Berkaitan dengan Indonesia, menurut Soepomo, Indonesia menganut paham integralistik, sehingga kepentingan umum yang diutamakan tetapi tidak mengesampingkan (atau dengan kata lain “tetap dihargai”) kepentingan individu. Konsep inilah yang dinamakan oleh Soepomo dengan asas KEKELUARGAAN.
0 comments
Posting Komentar